SEJARAH IGI
Oleh: Ahmad Rizali (Salah satu pendiri IGI)
Saya sengaja memulai menulis sejarah IGI dari perspektif saya dan sekuat ingatan saya. Sangat banyak faset yg bolong, tokoh yang terlupa. Seingatku Dhitta Puti Sarasvati pernah juga menulisnya dari obrolan dengan para pelaku. Saya hanya mampu menulisnya sd saya ikut aktif sebagai pembina dan masih ikut muter2 ke daerah.
IGI akan terus berjalan dan menebar kebaikan dan jika sempat, para pelaku sejarah sesudah kami, berkenan menuliskannya, sesubyektif apapun, biarlah sejarawan dan cucu kita nanti yang menilai kebenarannya. So, silahkan semua menulis dan tak harus diposting jika akan tak produktif, tetapi catatan anda akan sangat bernilai karena melihat genomnya dan fengshui nya, IGI ini “Sintong” dan akan jadi Bengcu nanti, believe me.
Ayo yo ayo….
*IGI (2)*
Banyak sekali momen bersejarah tentang IGI yang saya dan cak Satria Dharma lupakan. Tetapi yg tidak akan pernah saya lupa adalah ketika saat masih dalam format Klub Guru Indonesia (KGI) karena “enggrik enggriken” bak bayi yg masuk Inkubator melulu, maka diboyong oleh cak Satria ke Surabaya dan ternyata di kota yg panas sekali ini menemukan ibu dan bapak angkat yg lebih baik dari kami berdua. Jadilah bu Sirikit Syah Wartawati kondang itu menjadi Ketua KGI dan mas Ihsan Mohammad sebagai Sekretaris Jenderalnya. Setahuku logo “guru pi##s berdiri” itu adalah produk mas Ihsan dan bu Sirikit Syah. Peran cak Satria dan saya ttg logo ?
Kalau sampeyan semua berfikir bahwa kami cawe cawe dlm urusan Logo, artinya sampeyan semua ndak kenal sifat Kai Pang yg katrok dgn urusan simbol atau logo kecuali mangkok dan capitan “otis” dan karung gembolan. Yg peduli logo dan sejenisnya itu pasti murid Bu Tong Pay atau Siaw Lim atau Gobi Pay. Tetapi seperti ciri KayPang, meskipun mereka setia kepada saudaranya (dan pemberi uang receh di mangkok) tetapi tetap hobi kelayapan. Entah mengapa, bu Sirikit mengundurkan diri, cak Satria dan mas Ihsan yg faham, Why.
Singkat kata, karena UU Guru dan Dosen yg mewajibkan Guru wajib menjadi anggota organisasi Profesi, sembari KGI mulai rekrut anggota dan menyelenggarakan pelatihan2 yg didukung oleh Telkom, Bank Mandiri, sementara mas Ihsan mundur dari pekerjaan sebagai IT Consultant, saya yg di Jakarta dibantu cak Habe mulai ngurus Akte IGI. Di Surabaya, mas Ihsan yg dibantu mas Yasin dan satu staf perempuan (my god aku lupa namanya) terus ngurusi KGI. Sik…sik… dukungan Telkom dsb tadi bukan digrojok duit CSR tetapi jika pinjam Aula mereka, gratis.
Saat itulah saya sukses mengajak oppung Bag menjadi “tuwek tuwekane” IGI, karena beliau juga sudah menjadi Pembina mbahnya IGI, the CBE. Ini LSM Kebijakan Pendidikan yg saya dirikan dan nyaris saya buang tetapi dipulung oleh cak Satria. Sejarah CBE di Jatipadang Ragunan itu ada jejak pakar Pendidikan ahli Rasch Model, Bambang Sumintono PhD.
Karena ada Oppung saya dan cak Satria bertanya kepada beliau apakah pak Gatot dan Pak Indra Djati bisa diajak ikutan membesarkan IGI. Nah, wajah pak Bag lah yg dipandang oleh kedua tokoh yg menjadi fans kami itu. Bayangkan, jika kami berdua dengan atribut KayPang itu menghadap Dirjen Dikdasmen dan Direktur Dikmenjur meminta mereka nggabung IGI, haqqul yaqin akan “dipleroki”… “sopo awakmu le…” apalagi kalau Suheng saya yg mekedele pol itu yg ngomong, gak cuma dipleroki, langsung diusir satpam.
-bersambung-
*IGI (3)*
Seingatku, ketika proses mendapatkan akte IGI sedang berjalan, saya ngobrol panjang sambil ngopi di “lounge” stasiun Gambir yg sedang dipermak, di situ seingatku pertama kali bertemu dengan Dhitta Puti Sarasvati, saya merasa Puti adalah next generation sesudah CBE, yg kami besarkan dengan sokongan brother Aminullah Moh yg punya jabatan sebagai Education Officer Oxfam. Kawanku Ita Budhi seorang pakar pajak dari PWC juga tidak sedikit “tak jaluki duwit” agar aktivitas gerakan CBE berjalan.
Di CBE lah berkumpul pegiat Pendidikan unt berdiskusi dlm format “Dialog Komunitas Pendidikan” di situ ngumpul mas Eko Purwono dosen Arsitek ITB, mas Darmaningtyas Instran, alm Mochtar Buchori, kang Endo Suanda, Pater Drost alm, Ida N Sitompul, Danardana Soeprajitno dan banyak lagi, termasuk bung Tabrani Yunis Dua. Komunitas ini ikut ngoprek UU Sisdiknas “mewakili” komunitas Pendidikan. Di CBE pula pak Satria dan saya sering bertemu difasilitasi oleh One Aminullah dan operator CBE adalah Dwi Fatan Lilyana, Gigin St Onge dan Dini Cawte, diteruskan oleh Nurul Azkiyah dan Aquino Hayunta dan diakhiri oleh RisLa Riswan Lapagu. Terkmakasih kepada mereka semua pelaku sejarah Pendidikan.
-bersambun- saya ambegan disek.
*IGI (4)*
Singkat kata, CBE yg kondang dengan milis pendidikan cfbe@yahoogroups.com, berakhir ketika kontrak kantor Jatipadang habis dan tdk boleh diperpanjang. Apalagi semua pegiatnya mencar mengisi “lumbung” masing masing yg harus diisi semakin banyak. Saat itu pula saya sedang asyik mengerjakan Sepeda Unt Sekolah dengan cak Heru Habe, Sony Danang Caksono dkk bekerjasama dengan Pertamina.
Di Tahun 2004 saat Alm CakNur menjadi bakal calon Presiden dlm kovensi Golkar, saya menjadi relawan tim beliau dan menjadi Koordinator Pembangunan Jejaring pendukung CakNur, disinilah saya mengenal daeng Ramli yg bertugas sebagai koordinator hub Sulawesi dan Indonesia Timur, daeng belum lama lulus dari Unhas dan mantan Ketua BEM Unhas jaman reformasi 1998. Kami berpekan pekan bekerja bareng dlm susah dan senang keliling sulawesi seperti bang Thoyib dan dia masih Jombo dan saya terkesan dengan reputasinya saat jadi pimpinan mahasiswa dan mutu leadershipnya.
Ketika KGI melebarkan sayap ke Indonesia Timur, saya langsung ingat daeng Ramli dan ketika bertemu langsung saya titipkan organisasi guru ini di Sulsel dan Indonesia Timur. Saat itu daeng sudah menjadi kader muda Golkar dan menyanggupi permintaan saya unt ngurusi KGI/IGI dan mundur dari aktivitas sebagai kader aktif di Golkar. Sejak itulah daeng Ramli menjadi Ketua Wilayah IGI Sulsel dengan TanggungJawab melebarkan sayap ke seluruh Indonesia Timur. Gusti Surian Ketua Wilayah Kalsel, Mampu Ono pegang Jateng, DKI oleh Abah Rama Royani dan uluh itah bu Rusnanie Aden sebagai Ketua Wilayah Kalteng.
-bersambung-
*IGI (5)*
Banyak sekali tokoh yg saya lupakan dalam lintasan sejarah IGI. Ad Pito Sujatmiko arek Suroboyo yg sangat bonek dan kebonekannya membuat dia nyampe Irlandia dengan Dhitta Puti Sarasvati dan Nina Soeparno, duo perempuan sakti yg mengelola Kongres IGI pertama membantu pak Sururi Aziz. Ada lagi bu Dedeh tandemnya bu Yuli “alumnus” SD Al Ikhlas Alix dan banyak lagi.
Mengapa tokoh2 luar jawa di IGI (4) itu yg saya paling ingat, karena merekalah bu Rusnanie Aden dkk yg mengembangkan IGI di seantero Kalimantan, bertahun tahun merambah kebun2 sawit diakhir pekan dan lahan lahan gambut, selain asal sukuan (#etnocentris) sesama berdarah dayak banjar. Ada satulagi petarung IGI yg hebat yaitu bu Ermawati dari NTB yg seangkatan dengan daeng dan pak Gusti Surian dan ketua wilayah IGI Jabar sebelum pak Cucu Sukmana yg saya lupa nama beliau yg dosen kondang itu.
Lantas bagaimana cerita Jawa Timur, yg saya ingat baru pak Mardjuki di Gresik dan bu Istiqomah Almaky dan pak Shofwan mantan Kadisdik Kota Malang yg dlm sejarah merangkap Ketua IGI/Ketua PGRI. Selain itu saya samar samar mengingat IGI Jawa Timur yang saat itu memang dikelola oleh mas Ihsan Mohammad dan Cak Satria Dharma sebagai mbaureksonya Alumnus Unesa (d/h IKIP Surabaya) dan Lurahe Surabaya. Dengan kata lain, saya jeri mbediding menjawil Jawa Timur nenteng IGI. Saya yaqin, cerita IGI Jatim yg militan akan sama banyak dan serunya seperti kisah saya ini.
Ketika mas Ihsan menjadi Sekjen dan pak Satria Ketum, saya masuk jajaran Pembina IGI bareng pak Indra Djati, pak Gatot Hp Priowirjanto dan pak Bagiono Djokosumbogo dll dan sebelum Kongres I di Jakarta yang karena masih infant, gaya bergerak IGI masih terbatas, banyak sekali SOP yg harus ditata. Persoalan terbesar adalah “energi gerak” IGI itu darimana, kok mas Ihsan masih bisa klayapan ke seantero Indonesia ? Ya umumnya dari kantong pengurus sendirilah, pak Satria dan mas Ihsan dkk.di PP dan kantong pengurus Wilayah dkk. Lha kok mau ya, ini perkara Hobi.
Ketika Kongres II di Makasar terselenggara dan daeng Mrr Muhammad Ramli Rahim terpilih dan mas Ihsan menjadi Ketua Pembina, IGI melejit hingga seperti saat ini. Lha ini hanya cerita baik baik saja, jelas sejarah IGI penuh cerita baik, tetapi akan menjadi “Too Good To Be True” jika yg buruk tidak diingat. Betul, di IGI juga ada gesekan internal, di pusat dan di wilayah dan di kabupaten kota, tetapi saya sangat bangga bahwa IGI memang dipenuhi manusia yg selalu berfikir visioner dan pemaaf, sehingga setiap gesekan selalu selesai dengan kebesaran hati mereka. It is impossible IGI berjalan kencang dengan manusia2 yg dinamis dan tidak terjadi gesekan, apalagi masa Bulan Madu sudah lama usai.
Jadi, buat saya yg menekuni teori Organisasi, gesekan di IGI adalah sebuah keniscayaan sebuah organisasi yg sedang tumbuh seperti Organisme dan disebut fase STORMING, fase remaja awal menuju remaja dan dewasa. Jadi, buatku dan kawan kawan senior Pendiri, menyaksikan IGI “meriang” membuat kami senang, tetapi Alert! karena jika panasnya tidak diturunkan, proses tumbuhnya IGI akan tersendat. Di sinilah peran orang tua seperti kami, lebih tua seperti cak Satria dan tertua seperti pak Bagiono yg kami sebut Lo Cian Pwe (Oppung) yg wajib memberi sinyal kpd yg muda muda bahwa “Hi… look at us, we always here with you, dont worry and keep moving”.
-bersambung ke IGI (6) habis-
*IGI (6-habis): Satria Dharma dan Aku*
Sebelum saya berkisah tentang cak Satria Dharma, manusia yang sangaat berpengaruh ke diri saya dalam penggiatan pendidikan, ingin ku berkisah tentang manusia manusia pendiam dan pemalu yang sangat cinta IGI dan pekerja keras dan tekun.
Di awal usia IGI ada manusia seperti Pito Sujatmiko yg rodok sempel boneke kalo sedang ber IGI. Kotak bantuan maksi KFC di tenteng dari MallTaman Anggrek ke Plaza Telkom di ujung Merdeka Barat patung Kuda. Ada lagi mas Andi Muhammad Yasin, bugis yg nyasar ke Surabaya dan dengan tanpa.suara mengendalikan IGI dari Surabaya. Ada bu Yuli Alix, bu Novi Kd dan banyak lagi. Manusia sejenis mereka ini saya nilai senagai anasir sukses IGI.
Jika kita saksikan gelaran Piala Dunia Sepak Bola, pasti ada pemain berkarakter pekerja keras selain kapten yg baik. Jaman Italia Juara, ada Gatuso yg melapis Canavaro sebagai Kapten. Barusan Perancis menang ada bek mungil lugas dan berlari sepanjang lapangan melapis kaptennya. Dia sejenis manusia “hub” yg mengalirkan “resources” ke “pengguna” dan Hub ini sulit terlihat sehingga sulit menjadi bintang, namun mereka mencintai posisi itu. Saya yakin, di sisi kapten daeng Ramli yg lugas banyak pekerja2 pemalu dan pendiam yg lebih suka senyum2 gembira dipojok ruangan menyaksikan kawan kawan2nya berekspresi di panggumg sambil selfi.
-Istirahat sejenak-
Jika IGI itu lndonesia, maka Satria Dharma adalah Soekarno dan saya adalah Hatta. Cak Satria itu tidak sabaran, meledak ledak dan ingin semua gagasannya terwujut hari itu juga bahkan kalo bisa terwujut kemarin. Satria juga raja gagasan dan selalu berhasil memaksa orang lain bermakmum kepada gagasannya, sure… cak Satria itu seperti Soekarno. Saya mengikuti saja jalan “Soekarno” yg nggak kontenstual saya kontekskan, yg tidak relevan saat ini simpan sambil diperkuat. Jika saya dan Satria bertemu, tak jarang kami berdebat habisZan.
Cak Satrialah yg mengajak saya bertemu Elan Merdy bos Sampoerna Foundation yg akhirnya kami berdua disewa sebagai Konsultan SQIP yg jadi USP: Teachers Club yg sekarang jadi Universitas Sampoerna tempat Dhitta Puti Sarasvati menjadi dosen unt sekolah guru. Elan mengaku awalnya sering bingung melihat 2 konsultan kerjaannya bertengkar, tetapi akhirnya dia maklumi dan justru memperoleh yg terbaik dari perdebatan itu.
Cak Satria itu sikapnya terbuka, dan nggak duwe isin dan takut blas, maklum darah bugis yg besar di Surabaya dan saya lebih pemalu dan pendiam, maklum darah dayak bakumpai/ngaju/banjar lahir di Malang. Junior kami di IGI dalam tulisan selalu menggelari cak Satria Aimukarom (Yg Mulia) dan saya dipanggil HS (Hadratus Syech) karena mendirikan CBE lanjut, KGI dan akhirnya IGI. Dan kami berdua seperti tumbu oleh tutup. Jika “lumbung” saya terlihat dasarnya, biasanya saya “nempur” lumbung cak Satria. Apakah saya tidak pernah sebal kepada beliau dan beliau sebal ke saya ? Jelas pernah, tetapi selalu lebih cepat lupa karena mungkin kami anggap tidak substansial.
“Lumbung padi” saya yang mungil dan kelakuan yg nganeh2i sering memunculkan kasus “lumbung terlihat dasarnya” itu, tetapi saya selalu punya “kunci lumbung” cak Satria yg besar, luas dan terbuka untuk semua orang itu. Tetapi ada yg unik, saya sudah samar2 mengingat kapan saya kenal dengan “Soekarno” yg berani tidak mengikutinya dalam urusan perempuan cantik, padahal saya juga tau, sak jane beliau ini yo “liur menyurung” juga lho.
Saya sudah tak terhitung jumlahnya nginap di rumah beliau di Balikpapan dan Soerabaya, kenal dan pernah mentraktir anakku di Denpasar sampai dikenal sebagai “Om yg punya hotel”. Kenal dengan “Istri muda” nya yg cantik dan biater (bukan bahasa madura). Tetapi, beliau belum pernah kenal istriku, mampir rumahku apalagi menginap, karena sampai sekarang saya masih sungkan dan pemalu mengundang beliau mampir ke rumah yg cukup jauh dari Jakarta. Bukankah memang lebih banyak foto foto Hatta yg bertandang ke rumah Soekarno ? Hehehe…
Jika ada pemain Soekarno dan Hatta, adakah Tjokro, Agus Salim, Tan Malaka dan Founding Fathers lain ? Merekalah oppung Bagiono Djokosumbogo, pak Indra Djati, pak Gatot Hp Priowirjanto, Abah Rama Royani, Bu Sirikit, mas ihsan Mohammad, Sururi Aziz, Heru Habe, Setiawan Agung Wibowo, bu Yuli dII yang sangat banyak dan semuanya memiliki peran sama besarnya dengan kami berdua dan diteruskan oleh generasi berikut yg seangkatan dengan daeng Mrr Muhammad Ramli Rahim dkk.
Yakinlah, sejarah Risalah saja berdarah darah dan dalam perang di jaman Kanjeng Rasul saw dan sesudahnyapun para sahabat saling berhadapan. Sejarah selalu punya “korban”, hingga saat ini Safrudin Prawiranegara presiden Pemerintah Darurat RI sering dilupakan sebagai presiden sah. Tan Malaka itu pahlawan Nasional dan juga sering dilupakan. Bahkan Soekarno sangat manusiawi penuh salah digambarkan oleh Gibbles dlm buku Sejarahnya dan saya semakin kagum kepada beliau.
Closing
IGI dibawah pimpinan daeng Ramli menjadi organisasi yang tak terbayangkan olehku dan sebagai Ieader sebetulnya dia “lonely” dan sendirian. He put everything in iGl basket dan tentu sebagai Ieader dia pasti tidak maksum. Tanyalah kepada semua Ketua IGI yg sekarang membantu dia, bu Rusnanie Aden, Gusti Surian dll gudang sebalnya kepada si bos sudah berpuluh kali penuh dan cepat kosong hehe… dan merujuk ke tulisan sebelumnya, IGI sedang proses mendewasa dan membesar dan kami yg senior ini sudah sering OFF dalam urusan IGI tetapi tetap “We are sitting here and always be with you…. ” Semuanya, akhirnya terserah kalian semua IGI-ers, mau dibubarkan seperti usul omjay atau membesar seperti raksasa Kumbokarno yg besar tetapi sakti mandraguna, lurus hati dan berguna untuk ibu Pertiwi.
(Dirangkum dari postingan mas Ahmad Rizali, Pendiri IGI, di wall FB nya)
Salam IGI
SEKJEN
SEKJEN
Post a Comment